Rahasia Kaledo Tak Anyir dari Warung Om Bae Di Kalukubula

Di pinggir Jalan Guru Tua, Kalukubula, aroma kaldu menyapa seperti salam hangat dari tanah Kaili.

Uap kuah kaledo mengepul, membawa kisah dua insan yang bukan sekadar menjual makanan, tetapi juga menanak cinta dan doa dalam setiap rebusan tulang sapi.

Mereka adalah Haja Ani Huzaima dan Mansyur Rudi, pasangan yang akrab disapa Om Bae dan Ani, penjaga rasa di sebuah warung sederhana bernama Rumah Makan Om Bae.

Warung mereka tak mencolok. Tak ada lampu neon mencolok atau spanduk megah, tapi siapa pun yang melintas pasti tertarik pada wangi khas kaledo yang menyeruak dari dapur mungil di belakang.

Di sanalah rahasia rasa disimpan, diaduk dengan sabar dan keyakinan bahwa makanan sejati bukan hanya soal resep, tapi juga tentang niat.

“Tidak ada susahnya bikin kaledo tidak anyir, asal semua dilakukan sesuai syariat,” kata Om Bae.

Tangan terampilnya memutar sendok kayu di dalam panci besar. Ia percaya, setiap langkah memasak adalah ibadah kecil.

Dimulai dari memilih daging yang bersih, mencucinya hingga lutih, dan merebusnya dengan hati yang ikhlas.

Kaledo, singkatan dari kaki lembu Donggala. Bagi warga Sulawesi Tengah bukan sekadar makanan, tapi warisan.

Kuahnya yang asam segar, berpadu lemak lembut di sela tulang, seolah menjadi simbol kehidupan masyarakat Kaili. Sederhana, tapi kaya rasa.

Namun, di tangan Om Bae hidangan tradisional itu menjelma lebih dari sekadar resep turun-temurun. Mereka menyebutnya “Kaledo Tidak Anyir dan Tidak Berlemak”.

“Orang makan harus nyaman,” ujar Hj. Ani Huzaima, pelan. “Bukan cuma kenyang.”

Ani, perempuan asal Mamuju, memang pencinta kuliner sejati. Ia jatuh cinta pada dapur jauh sebelum bertemu Om Bae. Namun setelah menikah, cintanya menemukan bentuk baru.

Bukan lagi hanya pada masakan, tapi pada perjalanan hidup yang diaduk dalam satu panci yang sama.

Warung mereka berdiri setahun lalu, di antara hiruk pikuk Kalukubula yang mulai tumbuh sebagai daerah kuliner alternatif Palu. Empat orang bekerja di sana, semuanya keluarga.

Tidak ada pembagian tugas yang kaku, semua berjalan seperti orkestra kecil yang memainkan nada-nada hangat kebersamaan.

Harga seporsi kaledo di Warung Om Bae terbilang murah. Om Bae mengakui, untungnya tak seberapa.

Tapi baginya, rezeki tak selalu diukur dari tebalnya uang. “Sedikit-sedikit, insyaallah jadi banyak,” ujarnya sambil menuang kuah bening ke dalam mangkuk.

Di balik kalimat sederhana itu, tersimpan filosofi hidup yang jarang ditemui di tengah hiruk dunia kuliner yang kian komersial.

Tak heran, pelanggan datang bukan hanya untuk makan, tapi untuk merasakan suasana. Setiap suapan kaledo di sini seperti percakapan lama yang akrab, atau pelukan lembut setelah hari panjang.

Kuahnya mengalir pelan di lidah, seperti aliran waktu yang membawa kenangan masa kecil di rumah.

Kini, Kaledo Om Bae mulai dikenal luas. Banyak yang menyebutnya kaledo nomor satu di Tanah Kaili.

Sebuah pengakuan yang lahir bukan dari promosi besar-besaran, melainkan dari rasa yang jujur.

Ketika malam tiba dan warung mulai sepi, Ani dan Om Bae duduk berdua di bangku panjang. Di antara sisa aroma kuah yang masih menempel di udara, mereka tersenyum kecil, seakan berkata bahwa cinta, seperti kaledo, akan selalu lebih nikmat bila direbus dengan kesabaran, dibumbui keikhlasan, dan disajikan dengan sepenuh hati.

Anda Penasaran,? Segera ke Rumah Makan Om Bae, Desa Kalukubula, Sigi, Sulawesi Tengah. (Dekat dari lampu lalulintas atau perempatan jembatan Kasubi).

Komentar